BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 08 April 2009

BEASISWA

[milis-orangmedan] [Blog] Pentingnya Mindset Dalam Mengejar Beasiswa

togap_siagian
Fri, 08 Jun 2007 10:41:27 -0700

Tulisan di bawah saya posting di blog saya
http://milisbeasiswa.wordpress.com . Saya akan berterima kasih sekali
jika rekan-rekan menuliskan komentar di blog tersebut.

Togap

Pentingnya Mindset Dalam Mengejar Beasiswa

"Mindset: A fixed mental attitude or disposition that predetermines a
person's responses to and interpretations of situations. " Answers.com

Perburuan saya mencari beasiswa dimulai setelah saya bekerja di sebuah
perusahaan tambang asing di timur Indonesia. Saya ingat beasiswa
pertama yang saya coba adalah beasiswa dari Australia, yaitu The
Australian Development Program. Hanya bermodal keinginan kuat dan
kepercayaan diri yang terlalu tinggi, saya mengirimkan lamaran saya
tanpa dilengkapi beberapa dokumen yang diperlukan. Itu pengalaman
pertama saya, dan hasilnya bisa diramalkan: gagal.

Percobaan kedua, beasiswa Chevening Award dari negara Inggris yang
menjadi sasaran saya. Seingat saya, salah satu persyaratan beasiswa
ini adalah menulis esai. Dokumen dokumen yang diperlukan sudah saya
peroleh. Tetapi untuk urusan esai, wah, saya benar-benar cuek. Esainya
saya tulis seadanya tanpa memperdulikan isi tulisan, struktur, dan
lain-lain. Hasilnya lagi-lagi bisa diramalkan: gagal deuy!More...

Yang ketiga dan, syukurlah, yang terakhir saya mencoba beasiswa
Fulbright dari negara Amerika Serikat. Untuk yang terakhir ini,
persiapan saya jauh lebih matang. Pertama, selama sebulan penuh saya
belajar mengerjakan soal-soal ujian TOEFL. (In case kamu bertanya,
saya menggunakan buku terbitan Barron's). Teman-teman yang mengunjungi
rumah tempat saya tinggal bisa melihat bagaimana setiap malam saya
sibuk berkutat dengan buku tersebut. Saya membuat target untuk
menyelesaikan sepuluh soal setiap malamnya. Bukan hanya saya kerjakan
sambil lalu, tapi saya pastikan setiap kali saya mempunyai masalah,
saya mendapatkan penjelasan yang baik.

Kedua, sekali ini, saya bela-belain bolak-balik Jakarta Bandung hanya
untuk mendapatkan surat rekomendasi dari dua orang dosen yang cukup
saya kenal. Benar, yang diminta hanya satu surat rekomendasi. Tapi
kali ini, saya tidak mau membuat kesalahan. Saya pastikan saya
mendapatkan surat rekomendasi dari kedua dosen saya tersebut.

Ketiga, saya benar-benar belajar untuk menulis esai. Saya luangkan
waktu saya beberapa jam di Internet hanya untuk mencari contoh-contoh
esai yang baik. Selain dari pelatihan menulis laporan yang saya terima
di tempat saya bekerja, saya tidak punya pengalaman lain dalam
menulis. Karena itu, saya berusaha mencari informasi
sebanyak-banyaknya. Berkali-kali saya meminjam buku-buku di
perpustakaan yang saya pikir bisa memberikan pencerahan buat saya
dalam menulis esai. Majalah-majalah asing, seperti Time, Newsweek, dan
Fortune, saya "lahap" hanya untuk mengerti bagaimana sebuah tulisan
menjadi menarik untuk dibaca hingga selesai.

Hasilnya tidak sia-sia. Sekali ini, saya berhasil. AMINEF memanggil
saya untuk mengikuti wawancara di Jayapura. Dan akhirnya, saya berhak
menyandang gelar "Fulbright Scholar" di tahun 2000. (Tidak terasa
ternyata sudah 7 tahun berlalu!)

Semua hal tersebut seolah-olah saya rasakan kembali ketika beberapa
waktu lalu saya dan teman-teman moderator milis beasiswa mendapat
kesempatan untuk berbagi informasi dan cerita di salah satu
universitas di Jakarta. Tapi kilas balik tersebut saya rasakan bukan
karena seseorang menceritakan perjuangannya mencari beasiswa. Justru
itu saya rasakan karena pertanyaan yang, bagi saya, nadanya sedikit
pesimis dari salah seorang peserta acara seminar tersebut.

Pertanyaannya simpel,"Apakah dengan IPK saya yang hanya sedikit di
atas 3,00 saya bisa mendapatkan beasiswa?". Pertanyaan tersebut
seolah-olah menggambarkan kalau dengan IPK yang pas-pasan tersebut,
tidak ada lagi harapan bagi si penanya. Seolah-olah IPK adalah harga
mati yang membuat seseorang tidak bisa (atau bisa) mendapatkan
beasiswa. Cepat saya menjawab,"Saya juga IPK-nya segitu kok". Ya,
benar. Walaupun harus malu mengakuinya, IPK S1 saya cuma 3,0x (x nya
isi sendiri). Kenyataannya, saya mendapatkan beasiswa tersebut.
Kenyataannya, di tahun 2002 saya kembali ke Indonesia sebagai
Fulbright Scholar dan ditambah embel-embel MBA.

Jawaban saya ternyata tidak memuaskan penanyanya. Sekali lagi di maju
dan berkomentar,"Mas Togap kan kerja di PT XXX. Jadi ya wajar dong
kalau dapet beasiswa tersebut. PT XXX itu kan salah satu penyumbang
untuk beasiswa itu!". Oh well, memang benar saya saat itu tercatat
sebagai karyawan di PT XXX. Juga benar, kalau saat itu PT XXX adalah
salah satu penyumbang untuk beasiswa Fulbright. Tapi terus terang
saja, sekalipun saya tidak pernah berpikir kalau itulah yang menjadi
alasan saya mendapatkan beasiswa itu!

Komentar dan pertanyaan yang seperti ini terasa agak menyedihkan buat
saya. Karena komentar dan pertanyaan itu lebih terasa menghakimi diri
sendiri buat penanyanya daripada menginginkan diskusi. Saya merasa
kalau penanyanya dengan menanyakan hal itu justru mencari justifikasi
buat ketidakmampuannya untuk mendapatkan beasiswa. Bahkan sebelum dia
mencoba, dia sudah berpikir dan "merasakan" kalau dia tidak akan
mendapatkan beasiswa tersebut.

Kenyataannya, walaupun belum pernah melakukan survey, saya yakin ada
banyak orang Indonesia yang berhasil mendapatkan beasiswa walaupun
hanya dengan IPK yang cukupan. Bahkan di milis beasiswa, saya ingat
pernah membaca cerita tentang seseorang yang mendapatkan beasiswa
dengan IPK kepala 2 alias 2,xx! Isn't it something?

Saya yakin semua ini hanyalah masalah mindset atawa cara pandang.
Mindset-lah yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu hal.

Dalam buku Mindset, Carol Dweck PhD menjelaskan bahwa di dunia ini
terdapat dua tipe manusia. Tipe pertama, adalah orang-orang yang
mempunyai mindset berkembang. Manusia dengan tipe ini melihat semua
kesempatan sebagai proses untuk mengembangkan diri. Manusia tipe ini
juga percaya bahwa mereka dapat mencapai segala sesuatu dengan
memfokuskan usaha mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Tipe kedua, adalah tipe mindset tetap. Manusia dengan tipe ini percaya
bahwa kemampuan mereka adalah hasil dari bakat. Mereka percaya bahwa
bakatlah yang membawa mereka pada keberhasilan. Karena yang diperlukan
hanya bakat, yang nota bene dibawa dari lahir, mereka percaya bahwa
usaha tidak diperlukan untuk mendapatkan pencapaian yang mereka
inginkan. Dengan bakat yang mereka miliki, dengan sendirinya mereka
akan memperoleh hasil. Tapi di sisi lain, tanpa bakat, mereka percaya
mereka tidak mungkin mencapai hasil tertentu. Karena itu, orang-orang
dengan mindset tetap percaya kalau mereka tidak perlu berusaha (make
an effort). Bahkan, bagi mereka, usaha adalah sesuatu yang perlu
dihindari. Karena semuanya datang karena bakat, tentu saja tidak ada
pentingnya berusaha. Berusaha justru menunjukkan kalau seseorang tidak
mempunyai bakat. Dan karenanya bagi mereka, orang yang melakukan
sesuatu dengan usaha yang keras sesungguhnya adalah orang yang gagal.

Bagi manusia mindset tetap kegagalan adalah sesuatu yang harus
dihindari. Berbeda dengan manusia mindset berkembang, yang menganggap
kegagalan adalah satu pengalaman penting untuk belajar kembali. Dari
satu kegagalan, kita harus belajar untuk keberhasilan di waktu yang
lain. Menarik bahwa konsep neuro-linguistic programming (NLP)
mempunyai satu asumsi awal (presupposition) yang sama. Yaitu bahwa
kegagalan adalah suatu feedback. There is no failure, only feedback.

Cara pandang mindset berkembang ini memberikan kemerdekaan bagi
penganutnya. Mereka merdeka dalam arti kegagalan tidak lagi
membelenggu jiwa mereka. Kegagalan justru membebaskan, karena lewat
kegagalan mereka memperoleh pembelajaran (learning). Dan, in the end,
pembelajaran membawa keberhasilan.

Kembali ke masalah IPK dan beasiswa, bagi manusia dengan mindset
berkembang, IPK hanyalah satu faktor dalam mendapatkan beasiswa. Buat
mereka, jika IPK sudah keburu hancur, mereka akan mencari faktor lain
yang akan menolong mereka mendapatkan beasiswa itu. Dalam salah satu
email saya di milis beasiswa, saya pernah tuliskan bahwa selain IPK,
banyak hal lain yang bisa memberikan nilai tambah dalam mendapatkan
beasiswa. Misalnya, karir yang bagus seperti ditunjukkan dalam surat
rekomendasi dari atasan. Keberhasilan lain dalam masyarakat juga bisa
ditonjolkan dan menjadi faktor penentu dalam mendapatkan beasiswa.
Buat yang senang riset, mungkin yang dilakukannya adalah mencari topik
riset yang memberinya kesempatan lebih untuk mendapatkan beasiswa.
Buannyakk lagi cara yang bisa dilakukan. Seorang anggota milis
beasiswa pernah bercerita kalau dia berhasil memenangkan beasiswa di
usahanya yang kelima setelah dia berpindah kerja dari sebuah
perusahaan swasta ke LSM! Jadi banyak hal yang bisa dilakukan.

Untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri pun, bukan hanya lewat
beasiswa. Member milis beasiswa, Lina, sukses melanjutkan kuliah di
Jerman setelah selama setahun bekerja sebagai au-pair. Tugasnya
mengawasi anak-anak keluarga tempatnya bekerja. Member yang lain
sukses kuliah di Amerika Serikat dengan sistem kamikaze. Artinya,
nyemplung dulu ke negara Paman Sam tersebut, dan kemudian berusaha
mencari tambahan duit dan beasiswa di sana. (Ternyata beneran
buuaanyyakk cara yang bisa dilakukan, kan?)

Perlu dicatat, bahwa orang dengan mindset tetap pun banyak yang
memperoleh keberhasilan. John McEnroe, seorang petenis yang terkenal
di tahun 80-an, adalah contoh manusia dengan mindset tetap. Tapi
dengan segala keberhasilannya, John juga dikenal sebagai pemain tenis
yang pemarah dan suka menyalahkan faktor lain di luar dirinya saat
harus menerima kekalahan. Menurut Carol Dweck, John McEnroe is a very
good example of a person with fixed mindset.

Pada akhirnya, menjadi seseorang dengan mindset tetap atau mindset
berkembang (growth mindset) adalah perkara mau memilih yang mana. Anda
yang telah mempunyai mindset berkembang, bersyukurlah. Selama Anda mau
berusaha, kesuksesan bersama Anda. Sedangkan Anda yang mempunyai
mindset tetap, ingatlah bahwa Anda mempunyai pilihan untuk menjadi
seseorang yang ber-mindset berkembang. Selama Anda merasa nyaman
dengan mindset tetap Anda, it's fine. Tapi Anda tahu bahwa Anda selalu
dapat berubah (dengan latihan) untuk menjadi manusia ber-mindset
berkembang.

Togap
Tuliskan komentar kamu di http://milisbeasiswa.wordpress.com


0 komentar: